Sabtu, 14 April 2012

MASTER KARATE DO 1

Masatoshi Nakayama-
2
Posturnya terlihat
tegap dan kuat. Sorot
matanya tajam,
kadangkala terkesan
dingin bagi beberapa
orang. Sebagian
mengaguminya sebagai
figur yang berwibawa
dengan keahlian
karate yang tidak
diragukan lagi.
Sebagian membencinya
karena tindakannya
yang dianggap
melanggar larangan
sang guru.
Kontroversial, adalah
kata yang sering
melekat padanya.
Namun tidak diragukan
lagi, dia juga salah
satu loyalis dari Bapak
Karate Moderen. Jika
Funakoshi
menyebarkan karate
di Jepang, maka
dirinya telah
menyebarkan karate
ke penjuru dunia.
Masatoshi Nakayama
adalah salah satu
tokoh awal karate
Shotokan. Namanya
terkenal karena
merubah fungsi karate
sebagai kompetisi olah
raga, sebuah cita-cita
yang tidak pernah
diinginkan oleh
Funakoshi yang
menggunakan karate
sebagai “do”. Dilahirkan
di Prefektur
Yamaguchi tanggal 13
April 1913, Nakayama
masih mempunyai
hubungan dengan klan
Sanada yang
legendaris. Keluarga
Nakayama secara
turun-temurun
menguasai bela diri
tradisional Jepang.
Naotoshi (ayahnya)
belajar judo sedangkan
Naomichi (kakeknya)
terkenal sebagai
instruktur kendo
ternama. Antusias
pada bela diri agaknya
mengalir dalam darah
Nakayama yang juga
berlatih kendo dan
judo sejak anak-anak.
Saat usianya beranjak
remaja, Nakayama
pindah ke Taiwan
untuk meneruskan
sekolahnya. Sebagai
anak muda yang
bersemangat,
Nakayama terlibat
dalam banyak kegiatan
klub seperti atletik,
renang, tennis dan ski.
Meski sangat sibuk
Nakayama tidak
melupakan latihan
kendonya. Sang kakek
sangat gembira
melihat cucunya
menggeluti bela diri
yang sama dengannya.
Dirinya berharap agar
kelak Nakayama akan
mengikuti jejaknya
sebagai instruktur
kendo. Namun
ternyata hal lain
justru ada dalam
benak Nakayama.
Belajar di Taiwan
agaknya menimbulkan
rasa penasaran
sekaligus keinginan
untuk pergi Cina.
Namun saat itu tidak
mudah mencapainya
karena dibutuhkan
biaya yang tinggi.
Nakayama kemudian
memilih Universitas
Takushoku untuk
mewujudkan impiannya.
Saat itu lulusan
Takushoku memang
banyak dikirim ke
negara Asia untuk
bekerja atau sebagai
wakil Jepang.
Tahun 1932 diam-diam
Nakayama mengikui
tes masuk di
Universitas Takushoku
dan berhasil lulus.
Nakayama sangat
beruntung karena
Takushoku terkenal
sebagai universitas
dengan koleksi bela
diri tradisional Jepang
yang lengkap. Dengan
demikian dirinya tidak
perlu susah-susah
melanjutkan latihan
kendonya. Saat jadwal
latihan untuk seluruh
kegiatan klub akhirnya
diterbitkan, Nakayama
ternyata keliru
membaca jadwal
latihan kendo yang
terbalik dengan
karate. Begitu datang
ke dojo, Nakayama
baru menyadari bahwa
dirinya hadir di hari
yang salah. Meski
kecewa, Nakayama
tidak langsung pulang,
melainkan ingin melihat
latihan karate dari
dekat.
“…Di surat kabar aku
telah membaca
tentang karate,
namun aku tidak
begitu banyak
mengetahuinya,
karena itu kuputuskan
untuk duduk dan
melihatnya sebentar.
Tidak lama, seorang
laki-laki tua datang ke
dojo dan mulai
memberi aba-aba pada
para murid. Dia benar-
benar sangat ramah
dan tersenyum pada
siapapun, tapi tidak
diragukan lagi bahwa
dia adalah instruktur
kepala. Hari itu, aku
melihat Master
Funakoshi dan karate
untuk pertama kalinya.
Aku menyukainya dan
karena itu aku ingin
mencoba karate pada
latihan berikutnya,
karena dengan
pengalamanku di
kendo seharusnya
karate akan lebih
mudah. Pada latihan
berikutnya, dua hal
yang terjadi telah
mengubah hidupku;
Pertama, aku benar-
benar telah lupa
dengan kendo, dan
kedua, aku
menemukan bahwa
seluruh teknik karate
ternyata tidak mudah
dikerjakan. Sejak hari
itu hingga sekarang,
aku tidak pernah
kehilangan semangat
untuk berusaha
menguasai teknik
karate-do.”
Begitulah, Nakayama
kemudian mulai
menjalani latihan
karate di Takushoku
yang terkenal paling
berat dan melelahkan.
Saat itu hanya ada
dua macam latihan
karate, yaitu memukul
makiwara sekitar 1000
kali dan mengerjakan
satu macam kata
50-60 kali. Latihan
yang membosankan
namun menuntut fisik
dan semangat yang
prima itu berlangsung
selama 5 jam.
Akibatnya tidak
banyak murid yang
mampu bertahan,
hingga dalam waktu 6
bulan hanya tersisa
sedikit saja. Nakayama
terus bertahan dan
mengerjakan
seluruhnya tanpa
mengeluh.
Setahun setelah
Nakayama bergabung
dengan klub karate,
latihan kumite mulai
diperkenalkan. Tahun
1933 berturut-turut
gohon kumite (5
teknik), sanbon kumite
(3 teknik) dan ippon
kumite (1 teknik) mulai
diajarkan. Nakayama
yang sebelumnya telah
belajar kendo tidak
begitu kesulitan
dengan latihan model
baru ini. Tahun 1934
kumite setengah
bebas (jiyu ippon
kumite) diajarkan dan
ternyata mendapat
respon yang positif
dari kalangan
mahasiswa. Model
kumite ini adalah
inovasi dari Yoshitaka
Funakoshi yang
terinspirasi dari latihan
kendo. Sayangnya
Nakayama saat itu
telah pergi ke Cina
hingga tidak begitu
lama merasakan jiyu
ippon kumite. Saat itu
latihan kumite
dianggap sebagai
pengusir kebosanan
dengan latihan
Funakoshi yang hanya
fokus pada kihon dan
kata saja.
Tahun 1937 menjadi
tahun yang melelahkan
namun
menggembirakan bagi
Nakayama. Saat itu
Nakayama berhasil
lulus dari Takushoku
namun harus pergi ke
Cina sebagai wakil
pertukaran pelajar
dengan Universitas
Peking. Nakayama
dipilih karena
termasuk pemuda
yang pandai, apalagi
sebelumnya telah
belajar bahasa Cina di
sela kesibukan
karatenya. Saat akan
kembali ke Jepang,
Nakayama ternyata
harus menundanya
karena bekerja untuk
pemerintah Cina
selama beberapa
waktu. Tahun 1946
Nakayama baru
kembali ke Jepang,
setahun setelah
negara itu mendapat
mimpi buruk akibat
kalah perang. Saat
itulah Nakayama
mendapati kenyataan
pahit dengan banyak
rekannya di dojo telah
tewas. Meski sulit,
Nakayama berusaha
mengumpulkan mereka
yang pernah aktif
berlatih karate dan
mencoba mengorganisir
latihan seperti
sebelum perang. Tahun
1947 Nakayama
menjadi instruktur
kepala di Takushoku
menggantikan
Funakoshi. Upaya
Nakayama berhasil
mengembalikan
reputasi Takushoku
sebagai yang paling
aktif dalam karate
sesama dojo
universitas.
Angin perubahan dunia
karate Jepang terjadi
tahun 1949 saat
dibentuk Japan Karate
Association (JKA).
Organisasi ini muncul
setelah beberapa
murid senior Funakoshi
menginginkan satu
wadah yang resmi
karate. Lebih jauh
untuk menyatukan
seluruh praktisi karate
Jepang yang tercerai
berai pasca perang.
Meskipun dalam JKA
Funakoshi bertindak
sebagai guru besar
kehormatan, namun
usia yang telah lebih
dari 80 tahun
membuatnya tidak
mungkin bertindak
sebagai instruktur.
Karena itulah
Nakayama dipilih
sebagai instruktur
kepala mewakili
Funakoshi. Tidak lama
sesudahnya, tahun
1952 bagian
pendidikan jasmani di
Takushoku meminta
bantuannya sebagai
staf pengajar. Posisi
itu adalah awal
karirnya, karena di
masa mendatang
Nakayama menjadi
kepala di divisi
tersebut.
Setelah Funakoshi
meninggal dunia,
Nakayama berperan
besar dalam proses
awal JKA hingga
menjadi besar seperti
sekarang. Selain
sebagai instruktur
kepala, Nakayama
melakukan banyak
riset dalam karate.
Agaknya posisi yang
dekat dengan dunia
akademis membuat
Nakayama tidak
kesulitan dengan hal
itu. Hasilnya adalah
apa yang terlihat
dalam JKA moderen
saat ini tampil sebagai
organisasi karate yang
terbesar di dunia. Ada
tiga hal utama yang
dianggap sebagai
inovasi terbaik dari
Nakayama, yaitu:
menyebarkan karate
ke penjuru dunia,
program pelatihan
calon instruktur JKA
dan kompetisi karate.
Meski banyak
mendapat repon
positif, seluruhnya
program itu masih
menyisakan pro dan
kontra bahkan hingga
kini.
Untuk mendukung
promosi Shotokan JKA,
Nakayama menerbitkan
banyak buku karate.
Diantaranya adalah
“Dynamic
Karate” (1965, 2
volume), Best Karate
(1977, 11 volume),
“Katas of Karate” (5
volume) dan “Superior
Karate” (11 volume).
(Fokushotokan.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar